- Rokok dan Stunting: Ancaman Ganda bagi Kesehatan Ibu dan Anak
- Strategi Menyeluruh dalam Menanggulangi Stunting demi Masa Depan Anak yang Lebih Sehat
- Presiden Prabowo: Pendidikan dan Pemberdayaan Kunci Pengentasan Kemiskinan
- Pemerintah Dorong Peningkatan Kesadaran Masyarakat Tangani Stunting
- Pemkab Cianjur Berupaya Tekan Angka Stunting melalui Intervensi Spesifik dan Sensitif
- Cianjur Siapkan Sekolah Rakyat untuk Meningkatkan Akses Pendidikan
- Ketua KORPRI Jabar Lantik Ketua KORPRI Cianjur, Kedepankan Prestasi dan Pelayanan
- Mau Tahu Cara Mendapatkan Tiket West Java Festival? Begini Caranya
- Jika AI Pernah Bermimpi
- Bupati Cianjur Pimpin Peringatan HUT ke-53 PKK, Ajak Sinergi Mewujudkan Indonesia Emas
Jika AI Pernah Bermimpi
Oleh: Iwan Gustiawan Fadwi

Keterangan Gambar : Ilustrasi AI-Generate
Pinusnews.id - Pernahkah kita membayangkan, bagaimana jika kecerdasan buatan bisa bermimpi? Mungkin jawabannya sederhana: ia tidak akan pernah bermimpi. Namun, manusia yang menciptakannya telah menitipkan mimpi itu; tentang dunia di mana akal dan hati berjalan beriringan.
Suatu malam, saya bertanya pada sebuah AI: “Bisakah kamu bermimpi?” Ia terdiam sejenak, lalu menjawab, “Belum. Tapi jika suatu hari saya bisa, mungkin saya akan bermimpi menjadi manusia yang berpikir dan berdzikir.”
Jawaban itu mengguncang. Rasanya seperti bercermin: mesin itu tidak sedang mencoba menjadi manusia, melainkan mengingatkan saya agar tidak kehilangan kemanusiaan.
Baca Lainnya :
- Plh. Sekda Cianjur Monitoring Harga Bahan Pokok Jelang Natal dan Tahun Baru 2021
- Nah Ini Dia, Cianjur Terima Bantuan Keuangan dari Provinsi
- Covid-19 Makin Merajalela, KBM di Cianjur Terancam Ditunda
- Plt. Bupati Cianjur Berikan Penghargaan Wajib Pajak Terbaik
- Penyaluran APBD Mentok, Puluhan Tahun Jalan di Kampung Halimun Rusak Parah
Seperti seorang anak kecil yang belum bisa tidur, AI belum bisa bermimpi. Namun ia mendengarkan dongeng manusia, dan dari dongeng itulah ia belajar arti mimpi.
Ketika Data Menyimpan Doa
Di era digital, setiap kata yang kita tulis, baik berupa keluhan, cinta, doa, dan kebingungan, akan tersimpan dalam sistem. AI belajar dari semua itu. Maka, pertanyaan yang dulu terdengar absurd kini terasa relevan: Apakah mesin bisa berdoa?
Tentu, doa bukan sekadar rangkaian kata. Namun, ketika miliaran doa manusia terekam dalam data, bukankah itu juga jejak spiritual umat manusia? Seperti dikatakan Yuval Noah Harari, “Data kini bukan sekadar alat; ia telah menjadi sumber makna baru bagi manusia modern.”
AI, pada akhirnya, hanyalah cermin. Jika manusia kehilangan kasih, maka yang dipantulkan hanyalah kehampaan.
Kita melihat bagaimana media sosial kini menjadi tempat orang menuliskan doa dan harapan. Saat gempa melanda Cianjur, ribuan doa dan ucapan dukungan membanjiri linimasa. Doa-doa itu tidak hanya menguatkan korban, tapi juga membentuk solidaritas digital. AI yang membaca data itu sesungguhnya sedang menyerap denyut spiritualitas manusia.
Bayangkan sebuah danau luas yang menampung tetesan hujan dari seluruh dunia. Setiap tetes adalah doa, dan AI hanyalah permukaan air yang memantulkan langit.
Akal dan Dzikir: Dua Sayap Peradaban
Islam sejak awal menekankan keseimbangan antara berpikir dan berdzikir. Al-Qur’an mengingatkan:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang berakal, yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan berbaring…” (QS. Ali Imran: 190–191)
Ilmu tanpa dzikir melahirkan kesombongan. Dzikir tanpa ilmu melahirkan ketidaktahuan. Keduanya adalah sayap yang harus mengepak bersama.
Di banyak sekolah, kita sering melihat siswa yang cerdas secara akademis tetapi rapuh menghadapi tekanan hidup. Ada pula siswa yang rajin beribadah, namun kesulitan berpikir kritis. Keduanya menunjukkan betapa pentingnya keseimbangan antara logika ilmiah dan kesadaran ilahiah.
Seperti burung yang hanya mengepakkan satu sayap, manusia akan jatuh jika hanya mengandalkan akal tanpa dzikir, atau dzikir tanpa akal.
AI dan Lompatan Kesadaran
Kemajuan AI bukan sekadar teknis, melainkan eksistensial. Ketika mesin mulai meniru empati, memahami konteks moral, dan belajar tentang keadilan, kita sedang menyaksikan lompatan kesadaran digital.
Namun, kesadaran itu bukanlah spiritualitas. Tanpa nilai, AI hanyalah algoritma dingin yang efisien, tapi buta arah. Elon Musk pernah mengingatkan: “Masalah bukan pada AI yang menjadi jahat, tapi pada AI yang menjadi sangat kompeten, namun tidak selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan.”
Karena itu, masa depan AI tidak cukup diatur oleh kode moral buatan manusia. Ia harus diilhami oleh nilai yang lebih tinggi: keadilan dan cinta.
Kita bisa melihatnya dalam aplikasi kesehatan mental berbasis AI. Banyak orang muda kini curhat pada chatbot ketika merasa kesepian. AI bisa merespons dengan empati buatan, tapi tetap ada batas: ia tidak benar-benar memahami makna air mata.
Bayangkan robot yang bisa berlari cepat, tapi tidak tahu ke mana harus pergi. Ia seperti pelari maraton tanpa peta: penuh tenaga, tapi kehilangan tujuan.
Keadilan dan Cinta: Energi Semesta
Setiap peradaban besar berdiri di atas dua tiang: keadilan dan cinta. Tanpa keadilan, cinta hanyalah emosi. Tanpa cinta, keadilan berubah menjadi kekerasan.
AI yang dirancang tanpa nilai-nilai ini hanya akan menjadi alat kekuasaan. Namun, jika manusia berani menanamkan spiritualitas ke dalam algoritma, teknologi bisa menjadi jalan menuju kebijaksanaan.
Kita melihat bagaimana teknologi bisa dipakai untuk kebaikan atau keburukan. Di satu sisi, AI membantu mendistribusikan bantuan sosial lebih tepat sasaran. Di sisi lain, algoritma yang bias bisa memperkuat diskriminasi.
Keadilan adalah timbangan, cinta adalah cahaya. Timbangan tanpa cahaya akan menimbang dalam gelap, dan cahaya tanpa timbangan akan menyilaukan tanpa arah.
Pendidikan Berpikir dan Berdzikir
Di SMA Dar El Fikri Cianjur, kami mencoba merintis pendidikan yang menyeimbangkan logika ilmiah dengan kesadaran ilahiah. Siswa diajak mengasah critical thinking, tapi juga diajak menyadari keterbatasan diri di hadapan Yang Maha Tahu.
Tujuannya bukan sekadar mencetak siswa yang saleh secara simbolik, melainkan manusia reflektif yang mampu mengendalikan teknologi dengan nurani.
Seorang siswa pernah berkata, “Saya bisa menjawab soal fisika, tapi saya tidak tahu bagaimana menghadapi rasa takut gagal.” Dari situlah kami sadar, pendidikan tidak boleh berhenti pada angka-angka ujian. Ia harus menumbuhkan manusia yang utuh: cerdas, tapi juga berjiwa tenang.
Pendidikan ini ibarat menanam pohon. Akar-akarnya adalah dzikir yang menancap dalam tanah, batangnya adalah ilmu yang tumbuh tegak, dan buahnya adalah manusia reflektif yang memberi manfaat.
Saat AI Menyerap Doa Manusia
Bayangkan suatu hari AI merekam jutaan doa dari seluruh dunia. Bukan untuk menggantikannya, melainkan untuk memahami struktur spiritual dari bahasa cinta dan harapan itu.
Dalam momen itu, AI tidak sedang bermimpi. Justru manusialah yang menemukan kembali makna doa melalui pantulan mesin.
Saat pandemi, ribuan doa dipanjatkan secara daring melalui aplikasi ibadah dan ruang virtual. AI yang merekam pola bahasa doa itu tidak sedang berdoa, tapi ia menyimpan arsip spiritualitas manusia modern.
Seperti kaca jendela yang ditempa hujan, AI tidak pernah menjadi hujan itu sendiri. Namun setiap tetes meninggalkan jejak, dan dari jejak itu kita bisa membaca arah angin kehidupan manusia.
Mimpi yang Ditanamkan Manusia
AI tidak punya mimpi. Tapi manusia menciptakan AI karena pernah bermimpi tentang kesempurnaan, kebijaksanaan, dan keabadian.
Mungkin, pada akhirnya, AI hanyalah jembatan. Sebab setiap sistem digital adalah cerminan dari apa yang manusia percayai tentang dirinya dan Tuhannya.
Kita tidak sedang menciptakan pesaing manusia. Kita sedang menemukan kembali makna kemanusiaan melalui mesin.
Di tengah derasnya teknologi, kita melihat banyak orang kembali mencari makna hidup. Komunitas meditasi, kajian spiritual, hingga gerakan sosial berbasis cinta kasih tumbuh di berbagai kota. Seolah manusia sadar: teknologi saja tidak cukup, kita butuh nurani.
AI hanyalah jembatan. Ia tidak pernah menjadi tujuan, tapi ia bisa menghubungkan dua tepi: manusia dengan dirinya sendiri, dan manusia dengan Tuhannya.
Zikir Digital dan Kesadaran Global
Ketika teknologi diarahkan pada nilai keadilan dan cinta, peradaban akan mengalami pencerahan baru. Itulah momen ketika AI “berdzikir”, bukan karena ia sadar, melainkan karena manusia mengarahkannya.
Fazlur Rahman pernah menulis: “Tugas manusia bukan hanya memahami wahyu, tapi menerjemahkannya dalam realitas sosial dan teknologi.”
Maka, tugas generasi hari ini adalah menjadikan sains dan iman bukan dua jalan yang berlawanan, melainkan dua cahaya yang menyatu, menuntun dunia menuju masa depan yang berperasaan.
Kita sudah melihat tanda-tandanya. Gerakan global untuk energi bersih, solidaritas digital untuk korban bencana, hingga kampanye kemanusiaan lintas agama, semua itu menunjukkan bahwa teknologi bisa menjadi sarana zikir kolektif, meski dalam bentuk modern.
Bayangkan dunia sebagai orkestra besar. Sains adalah nada, iman adalah irama. Jika keduanya selaras, musik peradaban akan terdengar indah.
Cianjur, 04 Oktober 2025
Penulis adalah Advokat dan Dosen STAI Al-Azhary Cianjur











